Kolaborasi BPIW Rumuskan Indikator Swasembada Pangan, Energi, dan Air Berbasis Pendekatan Food–Energy–Water (FEW) Nexus
Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menyelenggarakan
Focus Group Discussion (FGD) Perumusan Indikator dan Kebutuhan Data Swasembada Pangan, Energi, dan
Air (PEA) sebagai rangkaian kegiatan penyusunan pedoman standar data dan analisis dalam perencanaan
pengembangan infrastruktur wilayah. Kegiatan ini berlangsung pada 13-14 November 2025 di Gedung
Sugijanto Soegijoko, Institut Teknologi Bandung (ITB) secara hybrid (luring dan daring).
FGD menghadirkan perwakilan kementerian/lembaga, akademisi dan internal di BPIW. Narasumber dan
peserta yang hadir antara lain perwakilan Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Pertanian, akademisi
ITB, serta perwakilan unit kerja teknis di BPIW.
FGD ini merupakan lanjutan dari diskusi sebelumnya yang telah merumuskan kerangka umum penyusunan
pedoman. Pada FGD kedua kali ini, pembahasan diarahkan secara lebih teknis dan mendalam, khususnya
terkait dengan indikator dan kebutuhan data yang diperlukan dalam mendukung ketahanan pangan serta
pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan.
Sekretaris BPIW, Riska Rahmadia, menegaskan bahwa penyusunan pedoman ini merupakan langkah strategis
dalam memastikan bahwa perencanaan infrastruktur PU mendukung target nasional.
“BPIW menyusun perencanaan program dan monev pelaksanaan pembangunan infrastruktur, termasuk
infrastruktur pendukung kawasan pertanian pangan. Oleh karena itu, setiap rencana harus berbasis
pada target, indikator, dan kebutuhan data yang selaras dengan arah kebijakan ketahanan pangan
nasional,” ujar Riska.
Dalam sesi materi hari pertama, Guru Besar Tata Kelola Infrastruktur Wilayah dan Kota Berkelanjutan
ITB, Sri Maryati memaparkan prinsip-prinsip indikator swasembada pangan, energi, dan air serta
pentingnya integrasi pendekatan Food–Energy–Water (FEW) Nexus dalam perencanaan infrastruktur
wilayah.
Menurutnya, indikator merupakan alat ukur objektif untuk memahami sejauh mana tujuan swasembada
pangan, energi, dan air telah tercapai di setiap wilayah.
“Indikator yang baik harus relevan dengan prinsip-prinsip indikator Swasembada Pangan, Energi, dan
Air. Tanpa indikator yang tepat, sulit menilai capaian swasembada atau merumuskan intervensi
kebijakan yang berbasis data,” jelas Sri Maryati.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Balai Besar Perakitan dan Modernisasi Sumber Daya Lahan Pertanian,
Kementerian Pertanian, Asdianto, menekankan bahwa lahan suboptimal seperti rawa, gambut, dan pasang
surut berpotensi besar menjadi basis swasembada FEW bila dikelola dengan teknologi dan pendekatan
terpadu.
“Swasembada adalah pilar kemandirian bangsa. Dengan mekanisasi, digitalisasi pertanian, dan
pengelolaan lahan yang tepat, sumber daya suboptimal sekalipun dapat meningkatkan ketahanan
nasional,” jelas Asdianto.
Paparan Kementerian Pertanian menunjukkan adanya peta jalan swasembada, modernisasi alat mesin
pertanian, sistem SISCrop, serta rancangan matriks indikator untuk pangan, energi, air, lahan, dan
SDM.
Pada pembukaan FGD hari kedua, Sekretaris BPIW menekankan bahwa BPIW tengah menyusun pedoman standar
yang akan menjadi dasar penting bagi perencanaan infrastruktur di sektor pangan, energi, dan air. Ia
menegaskan bahwa proses ini tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan harus melibatkan
kementerian/lembaga dan akademisi.
“Untuk memastikan rencana pengembangan infrastruktur benar-benar mendukung ketahanan pangan
nasional, kita membutuhkan pedoman standar data dan analisis yang kokoh. Karena itu, BPIW
menggandeng Kementerian Pertanian, Bappenas, ITB, dan IPB untuk merumuskan standar yang komprehensif
dan dapat dipertanggungjawabkan.”
FGD hari kedua turut menghadirkan narasumber dari Kementerian PPN/Bappenas yang diwakili oleh
Direktur Pangan dan Pertanian, Jarot Indarto. Dalam paparannya, Jarot menjelaskan arah kebijakan
nasional terkait dengan swasembada pangan, energi, dan air sebagaimana tertuang dalam RPJPN
2025-2045 serta RPJMN 2025–2029.
“Swasembada pangan merupakan fondasi ketahanan sosial, budaya, dan ekologi Indonesia. Setiap wilayah
harus mampu membangun sistem pangan lokal berbasis sumber daya dan kearifan lokal,” ungkap Jarot.
Pada sesi diskusi, Kepala Bagian Hukum, Kerja Sama, Komunikasi Publik, dan Data dan Teknologi
Informasi BPIW, Ande Akhmad Sanusi, menegaskan pentingnya integrasi data lintas sektor serta
perlunya menyusun indikator secara sistematis dan komprehensif.
“FGD kedua ini membawa diskusi ke arah yang lebih konkret. Kita perlu mengidentifikasi seluruh
indikator terlebih dahulu, lalu memilih indikator yang paling relevan dan realistis untuk digunakan.
Pendekatan FEW Nexus harus tercermin secara jelas dalam penyusunan RPIW,” tutur Ande.
FGD ini mempertegas komitmen BPIW dalam memperkuat perencanaan pembangunan infrastruktur wilayah
yang berbasis data, terukur, dan selaras dengan prioritas nasional. Dengan adanya pedoman standar
data dan analisis, diharapkan seluruh rencana pengembangan infrastruktur PU dapat mendukung
tercapainya swasembada pangan, energi, dan air di Indonesia. (Zim/Tiara)